Selasa, 13 Desember 2011

Lestarikan Terumbu Karang Indonesia


A.  Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000. jumlah ini mengindikasikan pula kekayaan biodiversity yang dimiliki Indonesia. Dalam buku yang dikeluarkan Conservation International : “Megadiversity : Earth’s Biologically Wealthiest Nations” (1998), disebutkan bahwa Indonesia berada diurutan kedua dalam keanekaragaman hayati. Namun eksploitasi berlebihan pada sumber daya hayati sekarang ini menjadi isu kritis dan menjadi masalah dari manajemen biodiversity. Isu terakhir yang banyak menyita perhatian adalah kerusakan terumbu karang (coral reef).
Dengan panjang pantai 81.000 km, Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara dengan ragam terumbu karang terbanyak di kawasan Asia Pasifik. Dengan keberadaan terumbu karang, pantai dan desa - desa yang terletak di dekat pantai terlindungi dari hantaman ombak. Terumbu karang juga merupakan komponen penting untuk bermacam - macam produk manufaktur, seperti farmasi, kesehatan, dan industri pangan. Adapaun yang jarang diketahui orang adalah kemampuan terumbu karang dalam memproduksi oksigen sebagaimana hutan di daratan.
Karena menfaatnya yang sangat penting inilah kita perlu mengetahui lebih banyak mengenai terumbu karang yang semakin menyusut jumlahnya. Bagi biota laut lainnya, terumbu karang merupakan tempat berlindung sekaligus tempat mencari makanan. Jadi dapat disimpulkan, jika terumbu karang semakin langka, maka hal ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem di laut. Persoalan ini tentunya secara tidak langsung akan sangat merugikan manusia.
B. Kenali Berbagai Jenis Terumbu Karang
Terumbu karang adalah karang yang terbentuk dari kalsium karbonat koloni kerang laut yang bernama polip yang bersimbiosis dengan organisme miskroskopis yang bernama zooxanthellae. Terumbu karang dapat dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut. Biasanya tumbuh di dekat pantai di daerah tropis dengan temperatur sekitar 21-30ºC. Beberapa tempat tumbuhnya terumbu karang adalah pantai timur Afrika, pantai selatan India, laut Merah, lepas pantai timur laut dan barat laut Australia hingga ke Polynesia.
Terumbu karang terbesar adalah Great Barier Reef di lepas pantai timur Australia dengan panjang sekitar 2000 km. Terumbu karang merupakn sumber makanan dan obat-obatan dan melindungi pantai dari erosi akibat gelombang laut. Terumbu karang juga memberikan perlindungan bagi hewan-hewan dalam habitatnya ( sponge, ubur-ubur, ikan, bintang laut, udang-udangan, kura-kura).
Terdapat beberapa tipe terumbu karang yaitu terumbu karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf yang disebut sebagai fringing reef , terumbu karang yang tumbuh sejajar  pantai tapi agak jauh ke luar disebut sebagai barrier reef, dan terumbu karang yang menyerupai cincin di sekitar pulau vulkanik disebut sebagai coral atoll.    
C. Kerusakan Terumbu Karang
Terumbu karang ditemukan disekitar 100 negara dan merupakan habitat bagi 25% hewan laut. Terumbu karang akan mengalami stress karena temparatur air laut yang meningkat, sinar ultraviolet dan perubahan lingkungan lainnya, maka ia akan kehilangan sel alga simbiotiknya. Akibatnya warnanya akan berubah menjadi putih, tetapi jika tingkat stress terumbu karang amat tinggi akan mengakibatkan terumbu karang tersebut mati.
Perilaku masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi penyebab utama kerusakan terumbu karang di beberapa wilayah di Tanah Air. Kondisi ini terus berlangsung karena berkolerasi dengan ketidakseriusan aparat penegak hukum yang ada serta lemahnya sistem dan perangkat hukum.
Dapat diketahui bahwa kondisi ekonomi masyarakat pesisir telah mengalahkan kearifan lokal masyarakat setempat untuk memelihara lingkungan. Seperti pada musim paceklik yang membuat para nelayan mengeksploitasi sumber daya laut dengan menggunakan peralatan yang tidak ramah lingkungan, seperti bahan peladak, racun, dll.
Pada musim paceklik, masyarakat dengan segala keterbatasannya tidak melihat alternatif lain yang bisa dimanfaatkan untuk menmbah penghasilan. Akibatnya, mereka terus mencari ikan laut dengan berbagai cara. Eksploitasi sumber daya laut di areal terumbu karang juga terjadi akibat kurangnya dana untuk mencari ikan ke tengah laut.
Di wilayah pesisir Indonesia terdapat hamparan terumbu karang yang cukup luas atau sekitar 15% dari total terumbu karang dunia seluas 85.707 km2. Namun kualitas dan kondisi ekosistem terumbu karang Indonesia mulai menurun ke tingkat yang mengkhawatirkan akibat berbagai bentuk perilaku ekonomi dan dampak aktifitas manusia dari darat.
Dari luas 40.000 hektar terumbu karang Indonesia, 30% mengalami rusak parah, 40% mengalami rusak sedang, dan 30% masih baik atau seluas 14.431 hektar yang terdapat di Nias Selatan, Nias, dan Tapanuli Tengah. Melalui program rehabilitasi terumbu karang, dapat diperkirakan tahun 2009 akan ada perbaikan hingga 10%.
Penangkapan ikan secara destruktif, pencemaran, sedimentasi, dan penambangan karang menjadi penyebab kerusakan karang. Untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang, perlu peningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif, serta memberikan kesdaran dan kepedulian untuk melestarikan ekosistem terumbu karang.
Selain itu pemerintah daerah diharpkan dapat mendukung masyarakat untuk mengembangkan upaya mengurangi faktor-faktor yang dapat merusak terumbu karang dan membiarkan ekosistem terumbu karang pulih secara alami.
Ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu memilki bentuk yang menarik dan kekhususan tersendiri serta mempunyai asal usul yang unik. Untuk menghindari terjadinya erosi genetik dan menjamin kelestarian potensi alam tersebut, perlu dilakukan pengelolaan secara bijaksana dengan prinsip-prinsip konsversi.
Guna menunjang usaha pengelolaan tersebut diperlukan data dan informasi yang lengkap, antara lain berupa data terumbu karang dan ikan terumbu karang disekitar terumbu tersebut. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui presentase tutupan karang dan frekuensi kehadiran ikan di sekitar karang tersebut.
Hasil dari kegiatan ini antara lain : presentase tutupan karang di lima pulau berkisar 4,3 – 50,07% dan secara umum berkonsis rusak. Dengan keberadaan pulau resort wisata dapat mengurangi tekanan pengrusakkan terumbu karang dengan bahan peledak dan KCN.
D. Tsunami di Aceh Sebabkan Kerusakan Terbesar
Gelombang Tsunami yang melanda D.I Aceh pada awal 2005 yang lalu tidak hanya membawa kerusakan pada ekosistem darat, namun juga pada ekosistem laut. Kerusakan terumbu karang di Aceh bahkan tercatat sebagai keruskan yang paling besar dan luas yang pernah terdeteksi oleh para ahli.
Penelitian tersebut dilakukan oleh para ahli dari Wildlife Conservation Society-Indonesia Marine Program dan Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies (ARCCOERS) pada terumbu karang di Pulau Simeulue dan Pulau Banyak dipesisir Aceh pada bulan Maret 2007 yang lalu.
Penelitian ini untuk pertama kalinya mendokumentasikan efek gelomabang Tsunami yang telah mengangkat dasar lautan beserta terumbu karang di atasanya. Hal tersebut menyebabkan kerusakan pada terumbu karang yang mengelilingi pulau tersebut.
Tetapi hasil penelitian dari Wildlife Conservation Society-Indonesia Marine Program menyatakan bahwa di beberapa tempat telah muncul tanda-tanda regenerasi dan rekolonialisasi yang terjadi secara alamiah dari terumbu karang tersebut sehingga terumbu karang tersebut masih memiliki harapan berkembang walaupun membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Kerusakan pada terumbu karang juga diakibatkan oleh bintang laut duri, predator ganas pemangsa terumbu karang dan juga disebabkan oleh ulah manusia seperti penangkapan ikan dengan racun dan bom.
Adanya tanda-tanda regenerasi di wilayah terumbu karang yang rusak, memberi harapan bahwa ekosistem bawah laut Aceh lama kelamaan akan kembali seperti semula. Oleh karena itu, proses regenerasi terumbu karang secara alamiah tersebut harus kita lindungi bersama untuk menjaga kelestariannya.
Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar 60.000 km2. Terumbu karang yang dalam kondisi baik hanya 6,2 %. Terjadinya kerusakan ini pada umumnya disebabkan oleh 3 faktor :
            1. Keserakahan manusia
            2. ketidaktahuan dan ketidakpedulian pada alam
            3. Penegak hukum yang lemah
D. Pelestarian Terumbu Karang
Yang dapat dilakukan untuk membantu melestarikan Terumbu Karang adalah : 
·    Jangan membeli souvenir atau barang-barang yang terbuat dari karang atau hewan laut yang dikeringkan.
·         Jangan menyentuh, berdiri diatas karang saat bermain di laut.
·     Jika anda adalah seorang penyelam, perhatikan gerakan fin, tabung dan alat selam lainnya jangan sampai membentur karang.
·       Terdapat bukti-bukti bahwa di dalam terumbu karang terkandung bahan-bahan untuk obat-obatan.
·          Bergabunglah dengan badan pelestarian alam dan laut.      
E. Interaksi Penduduk dengan Terumbu Karang
Zona pesisir Indonesia menopang kehidupan sekitar 60% dari 182 juta penduduk Indonesia. Pada beberapa wilayah tertentu, komunitas lokal sangat bergantung kepada banyak tipe terumbu karang dan hewan laut di terumbu karang, untuk pangan dan untuk diperdagangkan. Termasuk didalamnya ialah penyu, berbagai jenis ikan, berbagai jenis molusca,krustacea, dan echinodermata.
Keuntungan yang diperoleh bagi penduduk dari terumbu karang, seperti :
  • Terumbu karang secara tradisional dimanfaatkan sebagai bahan bangunan karena mengandung kapur. Demikian pula pasir yang diambil dari ekosistem terumbu karang digunakan sebagai bahan campuran semen.
  • Terumbu karang menyediakan sumber pangan yang berlimpah bagi penduduk Indonesia. Banyak sekali ikan-ikan karang dimakan karena mereka memiliki daging yang bergizi tinggi sebagai sumber pangan.
F. Pengelolaan Terumbu Karang
Pembentukan pengelolaan terumbu karang yang menjadi bagian dari Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Intergrated Coastal Zone Management) di Indonesia, menghadapi tantangan akibat kurangnya dukungan keuangan, teknologi yang kurang memadai dan sumber daya manusianya.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia mirip dengan negara-negara ASEAN lainnya, beberapa masalah yang sangat kritikal, antara lain:
  • Degradasi dari ekosistem pesisir dan laut, termasuk ekosistem terumbu karang.
  • Pencemaran terhadap lingkungan pesisir dan laut.
  • Eksploitasi secara berlebihan terhadap sumberdaya yang ada di pesisir dan laut, dan telah meluasnya pengambilan secara ilegal terhadap sumberdaya laut.
  • Perkembangan ke arah pembangunan strategi nasional dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu relatif kecil, demikian pula dengan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut.
Masalah - masalah di atas dimungkinkan terjadi akibat kondisi sistem pengelolaan di Indonesia yang dapat digambarkan  sebagai berikut :
  • Ketiadaan koordinasi terhadap perencanaan pembangunan antara level pemerintahan lokal (propinsi) dengan level pemerintahan pusat.
  • Lemahnya penegakkan hukum dari undang-undang dan peraturan yang berlaku sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.

Autoimmune Thyroid Disease


A.    Latar Belakang
Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama kalinya menemukan antibodi terhadap tirogobulin, yang bertindak sebagai autoantigen, dalam serum penderita penyakit Hashimoto. Pada tahun yang sama Adams dan Purves menemukan pula stimulator tiroid abnormal pada penderita penyakit Graves yang kerjanya mirip TSH, disebut sebagai long-acting thyroid stimulator (LATS). Baru sekitar 20 tahun kemudian diketahui bahwa LATS adalah suatu autoantibodi yang mampu merangsang reseptor TSH (thyrotropin receptor antibodies = TRAb) untuk menghasilkan hormon tiroid tiroksin dan triiodotironin. Pada tahun-tahun berikutnya ditemukan pula berbagai antibodi antitiroid lainnya.
Penyakit Graves dan Hashimoto merupakan penyakit tiroid autoimun (Autoimmune Thyroid Disease = AITD; Penyakit Tiroid Autoimun = PTAI) yang paling sering ditemukan di klinik, tergolong dalam penyakit autoimun bersifat organ-specific. Varian lain PTAI adalah tiroiditis atrofik, tiroiditis postpartum, tiroiditis karena obat (drug-induced thyroiditis) seperti amiodarone dan interferon-α, tiroiditis yang menyertai sindrom autoimun poliglandular. Sering pula ditemukan antibodi antitiroid (anti-TPO dan anti-Tg) dalam serum tanpa gejala klinik. Temuan-temuan tersebut memunculkan paradigma baru tentang penyakit autoimun; PTAI yang merupakan penyakit autoimun klasik sering dijadikan model untuk memahami patogenesis penyakit autoimun organ-specific lainnya.
 
B.    Patogenesis PTAI
PTAI adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respons autoimun terhadap antigen tiroid. Walaupun etiologi pasti respons imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI; pada penyakit Graves diperkirakan peran faktor genetik sekitar 79%, sisanya 21% dari faktor lingkungan (Prummel et al, 2004).
Selanjutnya diketahui pula pada PTAI respons seluler dan humoral bekerja bersamaan dengan sasaran kelenjar tiroid. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yg bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen (Tomer et al, 2003).

Gambar dibawah memperlihatkan secara skematik mekanisme terjadinya PTAI, diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang memiliki gen suseptibel. Interaksi antara selsel imun dengan autoantigen tiroid menimbulkan penyakit Graves atau tiroiditis Hashimoto atau pembentukan antibodi antitiroid tanpa gejala klinik (asymptomatic autoimmune thyroid disease).


 
C.    Faktor Genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respons imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO = thyroid peroxidase, transporter iodium, TSHR = TSH Receptor. Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu : CD40, CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), HLA-DR, protein tyrosinephosphatase-22, thyroglobulin, dan TSHR. CD40, anggota TNF-R receptor berperan penting dalam aktivasi sel B, menginduksi proliferasi sel B dan sekresi antibodi. Pada penyakit Graves terjadi up-regulation ekspresi CD40 di kelenjar tiroid; CD40 merupakan gen yang suseptibel untuk penyakit Graves, yang diekspresikan dan fungsional di tirosit (Ridgway et al, 2007).
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptida antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada APC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen. CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain, tidak hanya pada penyakit Graves. CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis (Tomer et al, 2003).
Pada ras Kaukasus penyakit Graves berasosiasi dengan HLA-B8. Kemudian diketahui bahwa asosiasinya lebih kuat dengan HLA-DR3 yang mempunyai linkage disequilibrium dengan HLA-B8. Pada bangsa Jepang terdapat asosiasi dengan HLA-B35, pada bangsa Cina dengan HLA-Bw46, dan pada keturunan Afrika-Amerika dengan HLA DRB3*0202 (Tomer et al, 2003).
Berbeda dengan penyakit Graves, asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina (Tomer et al, 2003)
D.     Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, di antaranya : berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteria. Di samping itu penggunaan obatobat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid (Prummel et al, 2004).
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti penyakit jantung khronik; kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari (Prummel et al, 2004).
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipo- dan hiper-tiroidi. Hipotiroidi lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroidi atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroidi (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan faktor risiko terjadinya PTAI (Prummel et al, 2004).

Selenium merupakan trace element yang esensial untuk síntesis selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun; defisiensi selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium. Di samping itu, selenium merupakan pula suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroidi subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (Prummel et al, 2004).
Penyakit autoimun yang organ specific jauh lebih sering ditemukan pada wanita. Penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto 5-10 kali lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pada pria. Alasannya belum jelas, tapi faktor genetik termasuk faktor hormonal pasti berperan  (Prummel et al, 2004).
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves.
Suatu penelitian prospektif melaporkan ada 4 kelompok kepribadian (hypochondria, depression, paranoia, dan mental fatigue) yang terkait dengan tingkat kekambuhan penyakit Graves setelah pengobatan antitiroid; kehidupan yang penuh ketegangan (stress) berkorelasi dengan titer antibodi anti-TSH (TRAb). Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress (Prummel et al, 2004).
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI. Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan Iodium radioaktif. Merokok juga akan menurunkan kemangkusan radioterapi dan pengobatan oftalmopatia dengan kortikosteroid (Prummel et al, 2004).
E.    Autoantigen dan Autoantibodi Tiroid pada PTAI
PTAI menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler. Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized)  atau autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid. Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroidi. Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroidi pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik (Tomer et al, 1993).

 Pada Gambar 4 diperlihatkan perubahan kadar antibodi anti-TPO yang mendahului terjadinya disfungsi tiroid pada individu dengan predisposisi genetik yang dipicu faktor lingkungan, sejalan dengan bertambahnya waktu (umur) (Anonim, 2003).


Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg, karena (bila ada) antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodosa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik (Anonim, 2003).
Berbeda dengan tiroiditis pada model hewan coba, respons autoimun terhadap tiroglobulin - protein yang paling banyak di kelenjar tiroid (autoantigen) ternyata tidak penting dalam proses autoimun pada manusia, Sodium-iodide symporter (NIS = NaI symporter), yang juga diduga berpotensi sebagai autoantigen, ternyata tidak berperan dalam proses autoimun (McLachlan et al, 2001).
Seperti telah dijelaskan, pada penyakit Graves terjadi respons humoral terhadap TSHR. Pada keadaan ini autoantibodi yang bekerja menyerupai TSH, akan mengaktivasi TSHR untuk memproduksi hormon tiroid secara berlebihan dan menyebabkan hipertiroidi. Autoantibodi TSHR dapat bersifat stimulator (TSAb) yang mengaktivasi TSHR dan blocking (TSBAb) yang menghambat pengikatan TSH dalam mengaktivasi TSHR (McLachlan et al, 2001).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi hiper-tiroidi Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroidi karena penyakit Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan. Hipotiroidi setelah pengobatan penyakit Graves diduga terjadi melalui dua cara yaitu destruksi akibat proses autoimun dan aktivitas TSBAb yang lebih dominan (Emerson et al, 2008).
Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid, khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor Immunoglobulin; TSBAb = Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin Receptor Antibody) (Amino, 1988)
Berdasarkan fungsinya antibodi antireseptor TSH dikelompokkan menjadi (Hennemann et al, 1985) :
1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis hormon tiroid;
3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;
4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi antireseptor TSH tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi antara besar atau volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya. Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin) (Hennemann et al, 1985).
F.    Apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+) CD25(+) T regulatory cells akan merusak (breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manfifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves (Baker et al, 2007).
G.     Sitokin dan PTAI
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respons imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun (Weetman et al, 2002).
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid (Weetman et al, 2002).
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati (Weetman et al, 2001).
Pada Tabel 2 dapat dilihat efek imunologik dan fungsional dari sitokin terhadap sel folikel tiroid.
 
H.    Makna Klinis Penentuan Antibodi Antitiroid
Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik adalah TgAb (ATA: anti Tg antibody), TPOAb (anti TPO antibody), dan TRAb (Thyrotropin Receptor Antibody); penentuan berbagai antibodi lainnya lebih bersifat minat akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi tiroid tidak selalu ditemukan dalam serum penderita PTAI, antara lain disebabkan oleh sensitivitas metoda assay.
TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau sedang menderita penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat melewati sawar plasenta, TRAb merupakan faktor risiko disfungsi tiroid fetal maupun neonatal. Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada penderita penyakit autoimun organ specific lain seperti DM tipe 1 dan anemia pernisiosa, serta juga dengan bertambahnya umur (prevalensi PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya umur) (Anonim, 2003).
Antibodi anti-TPO merupakan faktor risiko disfungsi tiroid, termasuk tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat tertentu. Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang pertama ditemukan pada hipotiroidi akibat tiroiditis Hashimoto. Walaupun antibodi terhadap reseptor TSH (TRAb) patognomonik untuk penyakit Graves, antibodi anti-TPO dan anti-Tg ditemukan juga pada penderita penyakit Graves. Lebih dari 95% penderita tiroiditis Hashimoto dan sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai antibodi anti-TPO (Anonim, 2003).
Pada Tabel 3 tercantum indikasi penentuan kadar antibody anti-TPO menurut rekomendasi National Academy of Clinical Biochemistry (Anonim, 2003).

 
Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil pengobatan karsinoma tiroid berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg yang positif akan menganggu penentuan kadar tiroglobulin(8). Antibodi anti-Tg positif pada penderita karsinoma tiroid berdiferensiasi yang telah dinyatakan sembuh akan menjadi negatif dalam waktu 1-4 tahun, sedangkan peningkatan kadarnya dapat digunakan sebagai petunjuk awal rekurensi (Anonim, 2003).
Penentuan TRAb berguna untuk memastikan etiologi penyakit Graves, serta untuk memprediksi terjadinya disfungsi tiroid fetal atau neonatal pada wanita hamil dengan riwayat atau sedang menderita penyakit Graves. Bila kadar TRAb tinggi selama trimester ke tiga kehamilan, maka ada risiko disfungsi tiroid pada anak yang akan dilahirkan. TBII receptor assay sering digunakan untuk mendeteksi hipertiroidi pada neonatus karena mengandung TSAb (stimulating) dan pada kasus yang jarang, blocking antibodies (TBAb/TSBab) yang dapat menyebabkan hipotiroidi selintas pada 1:180,000 neonatus. Disarankan melakukan tes untuk menentukan antibodi yang bersifat stimulator dan blocking karena ekspresi disfungsi tiroid mungkin berbeda antara ibu dan bayi (Anonim, 2003).


Daftar Pustaka
Amino, N. 1988. Autoimmunity and hypothyroidism. Clin Endocrinol Metab : 2(3):591-617.
Anonim. 2003. The National Academy of Clinical Biochemistry. Laboratory Medicine Practice Guidelines; Laboratory Support for the Diagnosis and Monitoring of Thyroid Disease. Thyroid : 13(1):45-56.
Baker, J.R. et al. 2007. The Role Of Apoptosis In Thyroid Autoimmunity. Thyroid : 17(10):975-9.
Campbell, P.N. et al. 1956. Autoantibodies In Hashimoto’s Disease (Lymphadenoid Goiter). Lancet : 271(6947):820-821.
Emerson, C.H. 2008. Metamorphic Thyroid Autoimmunity. Thyroid  : 18(10):1035-1037.
Hennemann, G et al. 1985. Autoimmunity Of Thyroid Disease. With Emphasis On Grave’s Disease. Neth J Med : 28
McLachlan, S.M. et al. 2001. Thyroid Autoimmunity. J Clin Invest : 108:1253-1259.
Prummel, M.F. et al. 2003. The Environment And Autoimmune Thyroid Diseases. Eur J Endocrinol : 150:605-618.
Ridgway, E.C. et al. 2007. Update in Thyroidology. J Clin Endocrinol Metab : 92:3755-3761.
Tomer, Y. et al. 1993. Thyroid Disease and Autoimmunity. Endocrine Rev :  14(1):107-120.