Minggu, 15 April 2012

Nanosuspensi, Teknologi Peningkatan Bioavailabilitas

Nanoteknologi mempunyai peran penting dalam program penemuan obat dan sistem penghantaran obat. Nanosuspensi sebagai bagian dari nanoteknologi dapat diberikan dengan berbagai rute pemberian obat seperti intravena, oral, parenteral, okular, topikal dan pulmonar. Bioavailabilitas obat oral yang rendah dapat disebabkan oleh rendahnya kelarutan, permeabilitas dan stabilitas obat dalam saluran pencernaan. Penurunan ukuran partikel pada sediaan nanosuspensi memecahkan masalah bioavailabilitas rendah yang disebabkan oleh rendahnya kelarutan, permeabilitas dan stabilitas obat (Arunkumar, et al., 2009).
Nanosuspensi adalah dispersi koloidal partikel obat ukuran nano yang distabilkan oleh surfaktan (Lakhsmi, et al., 2010). Dalam 10 tahun terakhir ini telah dikembangkan pendekatan lain untuk meningkatkan kelarutan dan kecepatan pelarutan senyawa aktif farmasi, yaitudengan mereduksi ukuran partikel senyawa aktif farmasi sampai ke ukuran yang ada dalam rentang nanometer atau submikron. Penurunan ukuran partikel tersebut berarti peningkatan luas permukaan, peningkatan kecepatan pelarutan dan dapat pula meningkatkan kelarutan senyawa aktif farmasi tersebut dalam air. Beberapa senyawa aktif farmasi dapat ditingkatkan bioavailabilitasnya setelah mereduksi ukuran partikelnya menjadi ukuran nanometer. Danazol yang merupakan senyawa aktif dengan sifat kelarutan yang sangat rendah dapat ditingkatkan bioavailibilitasnya menjadi 85% setelah pemberian nanopartikel danazol secara oral kepada anjing percobaan (Mauludin, et al., 2010).
Penurunan ukuran senyawa aktif farmasi menjadi ukuran nanometer dapat dicapai melalui berbagai macam cara, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua teknik, yaitu teknologi bottom-up dan top-down. Teknologi bottom-up di antaranya dilakukan dengan menggunakan metode pengendapan (precipitation method) dari senyawa yang sukar larut air dalam dalam dua media pelarut yang saling bercampur.Sementara teknologi topdown dimulai dengan menghaluskan partikel kasar dalam media cair yang biasa disebut makrosuspensi. Penghalusan partikel dapat dilakukan dengan cara pearl/ball milling, homogenisasi dalam tekanan tinggi (high pressure homogenization-HPH), dalam air atau media bebas air, atau dengan kombinasi teknologi seperti metode pengendapan yang dilanjutkan dengan HPH atau ball milling yang dilanjutkan dengan metode HPH (Mauludin, et al., 2010).
Nanokristal senyawa obat adalah partikel dengan diameter antara 5-10 nm sampai 1.000 nm, terdiri dari obat murni tanpa ada matriks tambahan. Nanopartikel dapat seluruhnya berupa kristal, sebagian kristal sebagian amorf, dan diproduksi baikdengan teknologi bottom up ataupun top down. Nanosuspensi senyawa obat merupakan suspensi yang terdiri dari nanokristal senyawa obat.Nanosuspensi dapat dikatakan merupakan suspensi dari dispersi nanokristal yang distabilkan surfaktan atau polimer (stabilisasi sterik). Media pendispersi dapat berupa air, campuran air dan senyawa organik larut dalam air, atau media non air seperti minyak, polietilen glikol cair (PEG) (Mauludin, et al., 2010).
Penurunan ukuran partikel obat dalam rentang nanometer dapat meningkatkan tekanan dissolusi sehingga meningkatkan laju disolusi. Peningkatan laju disolusi perubahan tegangan permukaan pada partikel obat ukuran nanometer yang menyebabkan peningkatan kelarutan jenuh partikel tersebut. Energi yang masuk selama proses perubahan ukuran partikel menjadi ukuran nanometer menyebabkan terjadinya kenaikan tegangan permukaan pada partikel sehingga tekanan disolusi menjadi meningkat (Arunkumar, et al., 2009).

Piperin, Senyawa dengan Banyak Manfaat


Piperin termasuk dalam alkaloid, isomer dari piperin yaitu kavisin merupan senyawa yang berasa pedas. Piperin senyawa yang banyak terdapat pada lada dan cabe. Senyawa ini memiliki banyak efek farmakologi yaitu sebagai antiinflamasi, antimikroba, hepatoprotektor, antikanker dan meningkatkan efek antioksidan sel. Piperin terbukti menurunkan lipid peroksidase hati dan melindungi dari kerusakan oksidatif akibat induksi dari senyawa karsinogenik kimia (Manoharan, et al., 2009). Bhardwaj et al. (2002) melaporkan bahwa piperin menghambat cytokrom CYP3A4 dan enzim P-glukoprotein yang penting dalam metabolisme dan transport dari xenobiotik dan metabolit.
Piperin terbukti menurunkan lipid peroksidase hati dan melindungi dari kerusakan oksidatif akibat induksi dari senyawa karsinogenik kimia (Manoharan et al., 2009). Piperin mencegah penumpukan akumulasi trigliserida yang disebabkan oleh dioksin (TCCD), dan piperin mencegah kelainan metabolisme lipid yang disebabkan dioksin (Ishida et al., 2008). Piperin mampu melindungi sel dari kanker dengan mengikat protein di mitokondria sehingga memicu apoptosis tanpa merusak sel-sel yang normal melalui peningkatan aktivitas enzim antioksidan seperti superoxide dismutase, catalase dan glutathione peroxidase (Selvendiran et al., 2003).



       




  Gambar 2.7 Struktur piperin

 Gambar 2.8 Makanisme peningkatan bioavailabilitas kurkumin oleh piperin

Kurkumin Sebagai Antikanker


  Kurkumin merupakan senyawa polifenol yang dapat ditemukan pada temulawak, temugiring dan kunyit. Kurkumin (diferuloylmethane) adalah senyawa aktif yang ditemukan pada kunir, berupa polifenol dengan rumus kimia C21H20O6. Kurkumin memiliki dua bentuk tautomer: keton dan enol. Struktur keton lebih dominan dalam bentuk padat, sedangkan struktur enol ditemukan dalam bentuk cairan. Senyawa turunan kurkumin disebut kurkuminoid, yang hanya terdapat dua macam, yaitu desmetoksikurkumin dan bis-desmetoksikurkumin, sedangkan in vivo, kurkumin akan berubah menjadi senyawa metabolit berupa dihidrokurkumin atau tetrahidrokurkumin sebelum kemudian dikonversi menjadi senyawa konjugasi monoglukoronida (Aggarwal dan Shishodia, 2006).

 Gambar 2.4 Struktur curcumin (Katsuyama et al., 2007)


 Gambar 2.5 Biosintesis kurkumin dari fenialanin (Kita et. al., 2008).


Kurkumin mempunyai efek yang poten sebagai antiinflamasi, antioksidan dan antikanker. Kurkumin yang dikonsumsi secara oral mempunyai kadar yang rendah dalam plasma dan jaringan, hal ini dikarenakan absorbsi yang jelek, metabolisme yang cepat dan eliminasi sistemik yang cepat (Preetha et al., 2007).
Mekanisme aksi dari kurkumin adalah dengan menginduksi apoptosis sel, mengaktivasi penghambatan nuclear factor kappa B (NFκB), serta menurunkan kadar dari sitokin proinflamasi (IL-6, IL-8, and TNFα) (Bisht et al., 2007).
Studi terkini yang dilakukan oleh Song et al. (2011), kurkumin dapat menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel K1 (sel kanker tiroid kapiler) tergantung dosis. Dengan konsentrasi kurkumin yang meningkat, kelangsungan hidup sel menurun secara signifikan dan apoptosis terus meningkat. Pada penelitian ini, digambarkan bahwa kurkumin memicu pembentukan ROS sangat cepat dan signifikan dalam sel K1, yang dapat segera dideteksi hanya 5 menit setelah terapi obat, menyebabkan sinyal apoptosis. Temuan ini menguatkan kesimpulan yang serupa yang diperoleh oleh Hosseinzadeh et al. (2011) yang baru-baru melaporkan bahwa curcumin meingkatkan apoptosis dengan doxorubicin melalui generasi ROS. Oleh karena itu, hasil ini mendukung hipotesis bahwa curcumin mengarah ke pembentukan yang cepat dari ROS dan ini dapat memainkan peran penting dalam induksi apoptosis pada sel K1.
ROS, yang sebagian besar diproduksi di mitokondria, jika berlebihan, dapat menyebabkan serangan radikal bebas dari membran fosfolipid dan mengakibatkan hilangnya potensial membran mitokondria, yang melepaskan apoptosis-inducing faktor yang mengaktifkan jalur caspase dan menyebabkan kondensasi inti (Thayyullathil et al., 2008). Di sinilah menariknya, ROS yang dihasilkan oleh mitokondria (melalui proses fosforilasi oksidatif), ternyata menargetkan juga pada dirinya sendiri (mitokondria).
Gambar 2.6 Mekanisme antikanker kurkumin (Anonim, 2010)


Sekilas Kanker dan Kanker Payudara


A.  Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit sel yang ditandai dengan hilangnya fungsi kontrol sel terhadap regulasi daur sel maupun fungsi homeostatis sel pada organisme multiseluler. Salah satu penyebab perubahan ini adalah terpejannya sel normal oleh zat-zat karsinogen, diantaranya senyawa-senyawa kimia, fisik dan biologis (Balmer et al., 2005). Paparan ini akan menyebabkan kerusakan DNA dan menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel pada jaringan dan organ (Lodish et al., 2000).
Akibat kegagalan tersebut, sel tidak dapat berproliferasi secara normal. Sehingga, sel akan berproliferasi terus-menerus dan menimbulkan pertumbuhan jaringan yang abnormal. Pertumbuhan kanker merupakan sebuah proses mikroevolusioner yang dapat berlangsung selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Proses pertumbuhan ini dinamakan karsinogenesis (Anonim, 2009).


 
Gambar 2.1 Kegagalan Kontrol Pertumbuhan Sel (NCI, 2009)

Klasifikasi kanker terbagi berdasarkan jenis organ atau sel tempat terjadinya. Karsinoma, merupakan kanker yang terjadi pada jaringan epitel, seperti kulit atau jaringan yang menyelubungi organ tubuh, misalnya organ pada sistem pencernaan atau kelenjar. Contohnya meliputi kanker kulit, karsinoma serviks, karsinoma anal, kanker esofageal, karsinoma hepatoselular, kanker laringeal, hipernefroma, kanker lambung, kanker testiskular dan kanker tiroid. Sarkoma, merupakan kanker yang terjadi pada tulang seperti osteosarkoma, tulang rawan seperti kondrosarkoma, jaringan otot seperti rabdomiosarcoma, jaringan adiposa, pembuluh darah dan jaringan penghantar atau pendukung lainnya. Leukemia, merupakan kanker yang terjadi akibat tidak matangnya sel darah yang berkembang di dalam sumsum tulang dan memiliki kecenderungan untuk berakumulasi di dalam sirkulasi darah. Limfoma, merupakan kanker yang timbul dari nodus limfa dan jaringan dalam sistem kekebalan tubuh (Anonim, 2005).


 
Gambar 2.2 Kanker pada manusia (NCI, 2009)

Mutasi yang terjadi pada DNA di dalam gen yang meregulasi siklus sel (pertumbuhan, kematian dan pemeliharaan sel) akan menyebabkan penyimpangan siklus sel, dan salah satu akibatnya adalah pembentukan kanker atau karsinogenesis (Silalahi, 2006). Karsinogenesis adalah suatu proses terjadinya kanker melalui mekanisme yang menunjukkan perubahan genetik dan menyebabkan transformasi progresif sel normal menjadi sel malignan (Hanahan dan Weinberg, 2000). Proses karsinogenesis secara bertahap diawali dengan proses inisiasi, dilanjutkan dengan promosi dan berlanjut dengan progresi dari sel normal menjadi sel kanker atau malignant cell (Aggarwal dan Shishodia, 2006).

            B. Kanker Payudara
Kanker payudara adalah suatu penyakit neoplasma ganas dengan pertumbuhan jaringan payudara yang tidak terkontrol yang berasal dari parenkim. Kanker payudara bersifat infiltrat, dekstruktif dan dapat bermetastasis melalui darah dan kelenjar getah bening (WHO, 2005).
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian pada pria (Anonim, 2006). Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).
Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan tumor epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berawal dari jaringan penghubung, jarang dijumpai pada payudara. Berdasarkan asal dan karakter histologinya kanker payudara dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu in situ karsinoma dan invasive karsinoma. Karsinoma in situ dikarakterisasi oleh lokalisasi sel tumor baik di duktus maupun di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal menuju stroma di sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal akan rusak sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi jaringan di sekitarnya menjadi sel metastatik (Hondermarck, 2003).
            Kanker payudara sebagian besar (sekitar 70%) ditandai dengan adanya gumpalan yang biasanya terasa sakit pada payudara, juga adanya tanda lain yang lebih jarang yang berupa sakit pada bagian payudara, erosi, retraksi, pembesaran dan rasa gatal pada bagian puting, juga secara keseluruhan timbul kemerahan, pembesaran dan kemungkinan penyusutan payudara. Sedangkan pada masa metastasis dapat timbul gejala nyeri tulang, penyakit kuning atau bahkan pengurangan berat badan (Bosman, 1999). Sel kanker payudara dapat tumbuh menjadi benjolan sebesar 1 cm2 dalam waktu 8-12 tahun (Tambunan, 2003). Pada tumor yang ganas, benjolan ini besifat solid, keras, tidak beraturan, dan nonmobile. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan, dan rasa panas pada jaringan payudara (Lindley dan Michaud, 2005).
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang menderita penyakit ini (Macdonald dan Ford,1997). Hormon tampaknya juga memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan atau progresteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara. Hal ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, dimana memang 50 % kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen (Gibbs, 2000).