Jumat, 14 Desember 2012

Doksorubisin dan Efek Sampingnya


Doksorubisin merupakan antibiotik antrasiklin yang telah banyak digunakan untuk pengobatan kanker. Mekanisme kerja doksorubisin  melalui tiga mekanisme utama, yaitu (Katzung, 2003):
  1. memiliki afinitas tinggi sehingga mampu mengikat DNA secara interkalasi dengan menghambat topoisomerase II dan mencegah sintesis DNA dan RNA,
  2. berikatan pada membran sel kanker sehingga menyebabkan perubahan kondisi cairan sel dan transport ion,
  3. membentuk radikal bebas semikuinon dan radikal oksigen sehingga meningkatkan proses apoptosis.


Meskipun memiliki khasiat antikanker yang tinggi, penggunaan doksorubisin dalam kemoterapi kini semakin terbatas karena efek sampingnya yang telah diketahui berupa toksisitas pada jantung, ginjal, paru, testis, dan hematologi. Doksorubisin menyebabkan ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan. Gangguan pada sistem radikal bebas-antioksidan dapat ditunjukkan dengan peroksidasi lipid dan hasil oksidasi protein yang menyebabkan kerusakan jaringan (Leena dan Balaraman, 2009).

Beberapa studi telah mempelajari bahwa doksorubisin dapat meningkatkan besi intrasel, dimana mencapai 5% dari jumlah total besi intrasel. Keseimbangan besi diregulasi oleh transferrin receptor dan feritin. Penyimpanan besi dilakukan dengan memasukkan transferin yang bermuatan besi ke intrasel, yang merupakan penyimpanan besi terakhir, ketika jumlahnya melebihi kebutuhan metabolisme sel. Transferin dan feritin diregulasi/diatur pada post-transcriptional yang melibatkan interaksi IRP-1 (Iron Regulatory Protein) dengan ligan yang spesifik disebut IRE (Iron Responsive Element) dalam target gen. Doksorubisin dapat mengganggu gugus Fe-S dalam sitoplasma dan menghambat IRP-1, dimana peran IRP-1 yaitu mengkondisikan jumlah dari besi dalam sel, sesuai dengan kebutuhan metabolisme sel. Akumulasi besi intrasel oleh doksorubisin menyebabkan peningkatan stress oksidatif yang merupakan penyebab toksisitas doksorubisin (Shi et al., 2011).


Mekanisme antikanker lain dari doksorubisin adalah dengan meningkatkan produksi ROS (reactive oxygen species) dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan terganggunya keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh sehingga terjadi kondisi yang disebut stress oksidatif. ROS yang menyebabkan stress oksidatif dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu oksigen radikal bebas dan nonradikal bebas. Oksigen radikal bebas dapat didefinisikan sebagai bahan kimia apapun yang mampu mempertahankan eksistensi dengan berisikan satu atau lebih elektron tidak berpasangan (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Ketika radikal bebas bereaksi dengan nonradikal bebas, hasilnya adalah radikal baru, yang dapat mengakibatkan reaksi berantai pembentukan radikal bebas (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Hal ini disebabkan oleh molekul oksigen yang berlimpah pada organisme aerobik dan juga mudah menerima elektron, propagasi radikal bebas yang melibatkan ROS adalah peristiwa yang umum terjadi (Rodney et al., 2000).

Oksigen radikal bebas meliputi • OH, • NO, dan O22. Nonradikal bebas termasuk molekul seperti hidrogen peroksida (H2O2). Masing-masing ROS mampu merusak sebagian besar konstituen seluler, termasuk DNA, baik oleh tindakan langsung pada DNA atau reaksi dengan konstituen seluler lain untuk menghasilkan ROS baru. Diduga mekanisme inilah yang menjadi penyebab utama toksisitas doksorubisin (Rodney et al., 2000).


Ayla et al. (2011) melaporkan bahwa penggunaan doksorubisin dapat meningkatkan produksi nitrit oksida (NO) yang termasuk suatu Reactive Oxygen Species (ROS). Secara umum, ROS mencakup • OH, NO •, dan O22. Nonradikal ROS termasuk molekul seperti hidrogen peroksida (H2O2). Masing-masing ROS mampu merusak unsur selular, termasuk DNA, baik dengan tindakan langsung pada DNA atau melalui reaksi dengan konstituen seluler lain untuk menghasilkan ROS baru. Meningkatnya jumlah ROS ini mampu menimbulkan kondisi yang disebut sebagai stress oksidatif. Stress oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralisirnya. Akibatnya intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak.