Tampilkan postingan dengan label kanker. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kanker. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Januari 2013

Agen Protektif Efek Samping Doksorubisin

Sejumlah bahan alam dilaporkan dapat digunakan sebagai agen protektif dari efek samping obat antikanker doksorubisin, antara lain adalah kombinasi dari temulawak (Curcuma xanthorriza), kunyit (Curcuma domestica), dan jahe merah (Zingiber officinale).

 
A.     Curcuma xanthorrhiza

Temulawak mempunyai klasifikasi sebagai berikut (Ravindran dan Babu, 2007):
Divisi               : Spermatophyta
Sub divisi         : Angiospermae
Kelas               : Monocotyledonae
Ordo                : Zingiberales
Famili               : Zingiberaceae
Genus               : Curcuma
Spesies             : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Curcuma xanthorrhiza Roxburgh (Roxb.) dikenal sebagai obat untuk berbagai penyakit. Hal ini juga dapat diambil sebagai suplemen gizi. Kandungan temulawak terdiri dari seskuiterpenoid yaitu xanthorrhizol (44,5%) dan kurkumin (21,5%) sebagai konstituen utama. Sesquiterpenoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan, aktivitas antiinflamasi saraf, nefroprotektif, hepatoprotektif, antijamur, dan antibakteri (Ismail et al., 2005).
Xanthorrhizol pertama kali terlibat dalam penelitian antikanker saat diuji pada Sarkoma 180 ascites pada tikus dan diidentifikasi sebagai salah satu unsur utama antitumor. Xanthorrhizol kemudian ditemukan untuk menghambat pembentukan tumor dan membalikkan karsinogenesis dalam tahap pra-malignan pada kulit mencit dengan mengurangi ekspresi protein dekarboksilase ornithine, siklooksigenase-2 (COX-2), induksi nitrat oksida sintase (iNOS), dan menekan aktivasi NF-kappaB (Cheah et al., 2008). Kurkumin bekerja dengan cara menghambat fase telomerase pada proses replikasi DNA pada sel kanker (James dan Mukhtar, 2007; Mukherjee et al., 2007; Singh dan Anggarwal, 2009).

B.     Curcuma domestica
Kunyit (Curcuma domestica) memiliki klasifikasi sebagai berikut (Ravindran dan Babu, 2007):
Divisi               : Spermatophyta 
Sub-divisi        : Angiospermae 
Kelas               : Monocotyledoneae 
Ordo                : Zingiberales 
Famili               : Zingiberaceae 
Genus              : Curcuma 
Spesies            : Curcuma domestica Val.
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan jenis temu-temuan yang mengandung kurkuminoid, yang terdiri atas senyawa kurkumin dan turunannya yang meliputi desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Kurkuminoid merupakan bahan aktif dalam rimpang kunyit yang mempunyai aktivitas biologis berspektrum luas, yang salah satunya adalah protektif organ (Hartono et al., 2005).
Kurkumin pada kunyit mempunyai efek yang poten sebagai antiinflamasi, antioksidan dan antikanker. Kurkumin yang dikonsumsi secara oral mempunyai kadar yang rendah dalam plasma dan jaringan, hal ini dikarenakan absorbsi yang buruk, metabolisme dan eliminasi sistemik yang cepat (Preetha et al., 2007). Kurkumin menghambat pensinyalan NF-kB melalui banyak cara diantaranya dengan menghambat ROS sehingga mencegah pensinyalan inflamasi dan menghambat fungsi Akt dan MAPKs (Lin dan Lin, 2008).

C.     Zingiber officinale
Klasifikasi tanaman jahe merah menurut Ravindran dan Babu. (2007):
Divisi                    : Spermatophyta
Subdivisi               : Angiospermae
Kelas                    : Monocotyledoneae
Ordo                     : Zingiberales (Scitamineae)   
Famili                    : Zingiberaceae
Genus                    : Zingiber
Spesies                  : Zingiber officinale Rosc.    
                                                                 
Zingiber officinale Roscoe, dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan, antiemetik, spasmolitik, dan antiinflamasi. Dalam rimpang jahe segar, gingerol dan shogaol teridentifikasi sebagai komponen aktif utama.  Gingerol dan shogaol dilaporkan bertanggung jawab untuk dengan antiemetik, analgesik, antipiretik, antitusif, hipotensi, dan mutagenik (Singh et al., 2010). Kandungan zat aktif lain yang terdapat dalam jahe adalah  monoterpen dan seskuiterpen, camphen, betaphellandren, kurkumin, cineole, asetat geranyl, terphineol, terpen, borneol, geraniol, limonen, linalool, alpha-zingiberen (30-70%), beta-sesquiphellandren (15-20%), betabisabolen (10-15%), dan alpha farmesen (Ghosh et al., 2011).
Jahe merah memiliki antioksidan lebih banyak dibanding vitamin E (Kikuzaki dan Nakatani, 1993). Jahe merah juga memiliki aktivitas antiinflamasi dan efek kemopreventif sehingga mampu mencegah terjadinya kanker (Ravindran dan Babu, 2007). Nigam et al. (2009) menjelaskan bahwa kandungan senyawa 6-gingerol dan 6-paradol dalam Z. officinale mempengaruhi fase istirahat siklus sel dan induksi apoptosis sel kanker melalui peningkatan ekspresi gen p-53, Bax level, dan penurunan ekspresi gen Bcl-2. Senyawa 6-gingerol dan 6-paradol juga bekerja secara langsung mempengaruhi mekanisme caspase-3 sehingga menginduksi apoptosis sel kanker (Keum et al., 2002). Aktivitas  mieloprotektif Z. officinale disebabkan karena adanya suatu antioksidan, yaitu gingerol (polifenol) yang telah diidentifikasi sebagai komponen aktif utama (Masuda et al., 1999).

Jumat, 14 Desember 2012

Doksorubisin dan Efek Sampingnya


Doksorubisin merupakan antibiotik antrasiklin yang telah banyak digunakan untuk pengobatan kanker. Mekanisme kerja doksorubisin  melalui tiga mekanisme utama, yaitu (Katzung, 2003):
  1. memiliki afinitas tinggi sehingga mampu mengikat DNA secara interkalasi dengan menghambat topoisomerase II dan mencegah sintesis DNA dan RNA,
  2. berikatan pada membran sel kanker sehingga menyebabkan perubahan kondisi cairan sel dan transport ion,
  3. membentuk radikal bebas semikuinon dan radikal oksigen sehingga meningkatkan proses apoptosis.


Meskipun memiliki khasiat antikanker yang tinggi, penggunaan doksorubisin dalam kemoterapi kini semakin terbatas karena efek sampingnya yang telah diketahui berupa toksisitas pada jantung, ginjal, paru, testis, dan hematologi. Doksorubisin menyebabkan ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan. Gangguan pada sistem radikal bebas-antioksidan dapat ditunjukkan dengan peroksidasi lipid dan hasil oksidasi protein yang menyebabkan kerusakan jaringan (Leena dan Balaraman, 2009).

Beberapa studi telah mempelajari bahwa doksorubisin dapat meningkatkan besi intrasel, dimana mencapai 5% dari jumlah total besi intrasel. Keseimbangan besi diregulasi oleh transferrin receptor dan feritin. Penyimpanan besi dilakukan dengan memasukkan transferin yang bermuatan besi ke intrasel, yang merupakan penyimpanan besi terakhir, ketika jumlahnya melebihi kebutuhan metabolisme sel. Transferin dan feritin diregulasi/diatur pada post-transcriptional yang melibatkan interaksi IRP-1 (Iron Regulatory Protein) dengan ligan yang spesifik disebut IRE (Iron Responsive Element) dalam target gen. Doksorubisin dapat mengganggu gugus Fe-S dalam sitoplasma dan menghambat IRP-1, dimana peran IRP-1 yaitu mengkondisikan jumlah dari besi dalam sel, sesuai dengan kebutuhan metabolisme sel. Akumulasi besi intrasel oleh doksorubisin menyebabkan peningkatan stress oksidatif yang merupakan penyebab toksisitas doksorubisin (Shi et al., 2011).


Mekanisme antikanker lain dari doksorubisin adalah dengan meningkatkan produksi ROS (reactive oxygen species) dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan terganggunya keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh sehingga terjadi kondisi yang disebut stress oksidatif. ROS yang menyebabkan stress oksidatif dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu oksigen radikal bebas dan nonradikal bebas. Oksigen radikal bebas dapat didefinisikan sebagai bahan kimia apapun yang mampu mempertahankan eksistensi dengan berisikan satu atau lebih elektron tidak berpasangan (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Ketika radikal bebas bereaksi dengan nonradikal bebas, hasilnya adalah radikal baru, yang dapat mengakibatkan reaksi berantai pembentukan radikal bebas (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Hal ini disebabkan oleh molekul oksigen yang berlimpah pada organisme aerobik dan juga mudah menerima elektron, propagasi radikal bebas yang melibatkan ROS adalah peristiwa yang umum terjadi (Rodney et al., 2000).

Oksigen radikal bebas meliputi • OH, • NO, dan O22. Nonradikal bebas termasuk molekul seperti hidrogen peroksida (H2O2). Masing-masing ROS mampu merusak sebagian besar konstituen seluler, termasuk DNA, baik oleh tindakan langsung pada DNA atau reaksi dengan konstituen seluler lain untuk menghasilkan ROS baru. Diduga mekanisme inilah yang menjadi penyebab utama toksisitas doksorubisin (Rodney et al., 2000).


Ayla et al. (2011) melaporkan bahwa penggunaan doksorubisin dapat meningkatkan produksi nitrit oksida (NO) yang termasuk suatu Reactive Oxygen Species (ROS). Secara umum, ROS mencakup • OH, NO •, dan O22. Nonradikal ROS termasuk molekul seperti hidrogen peroksida (H2O2). Masing-masing ROS mampu merusak unsur selular, termasuk DNA, baik dengan tindakan langsung pada DNA atau melalui reaksi dengan konstituen seluler lain untuk menghasilkan ROS baru. Meningkatnya jumlah ROS ini mampu menimbulkan kondisi yang disebut sebagai stress oksidatif. Stress oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralisirnya. Akibatnya intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak.

Minggu, 15 April 2012

Sekilas Kanker dan Kanker Payudara


A.  Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit sel yang ditandai dengan hilangnya fungsi kontrol sel terhadap regulasi daur sel maupun fungsi homeostatis sel pada organisme multiseluler. Salah satu penyebab perubahan ini adalah terpejannya sel normal oleh zat-zat karsinogen, diantaranya senyawa-senyawa kimia, fisik dan biologis (Balmer et al., 2005). Paparan ini akan menyebabkan kerusakan DNA dan menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel pada jaringan dan organ (Lodish et al., 2000).
Akibat kegagalan tersebut, sel tidak dapat berproliferasi secara normal. Sehingga, sel akan berproliferasi terus-menerus dan menimbulkan pertumbuhan jaringan yang abnormal. Pertumbuhan kanker merupakan sebuah proses mikroevolusioner yang dapat berlangsung selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Proses pertumbuhan ini dinamakan karsinogenesis (Anonim, 2009).


 
Gambar 2.1 Kegagalan Kontrol Pertumbuhan Sel (NCI, 2009)

Klasifikasi kanker terbagi berdasarkan jenis organ atau sel tempat terjadinya. Karsinoma, merupakan kanker yang terjadi pada jaringan epitel, seperti kulit atau jaringan yang menyelubungi organ tubuh, misalnya organ pada sistem pencernaan atau kelenjar. Contohnya meliputi kanker kulit, karsinoma serviks, karsinoma anal, kanker esofageal, karsinoma hepatoselular, kanker laringeal, hipernefroma, kanker lambung, kanker testiskular dan kanker tiroid. Sarkoma, merupakan kanker yang terjadi pada tulang seperti osteosarkoma, tulang rawan seperti kondrosarkoma, jaringan otot seperti rabdomiosarcoma, jaringan adiposa, pembuluh darah dan jaringan penghantar atau pendukung lainnya. Leukemia, merupakan kanker yang terjadi akibat tidak matangnya sel darah yang berkembang di dalam sumsum tulang dan memiliki kecenderungan untuk berakumulasi di dalam sirkulasi darah. Limfoma, merupakan kanker yang timbul dari nodus limfa dan jaringan dalam sistem kekebalan tubuh (Anonim, 2005).


 
Gambar 2.2 Kanker pada manusia (NCI, 2009)

Mutasi yang terjadi pada DNA di dalam gen yang meregulasi siklus sel (pertumbuhan, kematian dan pemeliharaan sel) akan menyebabkan penyimpangan siklus sel, dan salah satu akibatnya adalah pembentukan kanker atau karsinogenesis (Silalahi, 2006). Karsinogenesis adalah suatu proses terjadinya kanker melalui mekanisme yang menunjukkan perubahan genetik dan menyebabkan transformasi progresif sel normal menjadi sel malignan (Hanahan dan Weinberg, 2000). Proses karsinogenesis secara bertahap diawali dengan proses inisiasi, dilanjutkan dengan promosi dan berlanjut dengan progresi dari sel normal menjadi sel kanker atau malignant cell (Aggarwal dan Shishodia, 2006).

            B. Kanker Payudara
Kanker payudara adalah suatu penyakit neoplasma ganas dengan pertumbuhan jaringan payudara yang tidak terkontrol yang berasal dari parenkim. Kanker payudara bersifat infiltrat, dekstruktif dan dapat bermetastasis melalui darah dan kelenjar getah bening (WHO, 2005).
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian pada pria (Anonim, 2006). Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).
Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan tumor epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berawal dari jaringan penghubung, jarang dijumpai pada payudara. Berdasarkan asal dan karakter histologinya kanker payudara dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu in situ karsinoma dan invasive karsinoma. Karsinoma in situ dikarakterisasi oleh lokalisasi sel tumor baik di duktus maupun di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal menuju stroma di sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal akan rusak sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi jaringan di sekitarnya menjadi sel metastatik (Hondermarck, 2003).
            Kanker payudara sebagian besar (sekitar 70%) ditandai dengan adanya gumpalan yang biasanya terasa sakit pada payudara, juga adanya tanda lain yang lebih jarang yang berupa sakit pada bagian payudara, erosi, retraksi, pembesaran dan rasa gatal pada bagian puting, juga secara keseluruhan timbul kemerahan, pembesaran dan kemungkinan penyusutan payudara. Sedangkan pada masa metastasis dapat timbul gejala nyeri tulang, penyakit kuning atau bahkan pengurangan berat badan (Bosman, 1999). Sel kanker payudara dapat tumbuh menjadi benjolan sebesar 1 cm2 dalam waktu 8-12 tahun (Tambunan, 2003). Pada tumor yang ganas, benjolan ini besifat solid, keras, tidak beraturan, dan nonmobile. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan, dan rasa panas pada jaringan payudara (Lindley dan Michaud, 2005).
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang menderita penyakit ini (Macdonald dan Ford,1997). Hormon tampaknya juga memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan atau progresteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara. Hal ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, dimana memang 50 % kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen (Gibbs, 2000).